Long Journey with You
Karya : Angel Christiani Wijaya
Kelas 9 2024
Caitlyn Axera, seorang gadis
berusia 16 tahun, duduk di bangku kelas dengan dahi berkerut. Dia bingung
mendengarkan penjelasan guru matematika yang galak, yang berbicara tanpa henti
selama satu jam terakhir. Di balik
ketidakpastian di wajahnya, dia merasa terjebak dalam zona nyamannya.
“Jadi, hasilnya itu 4, ya?” suara guru memecah keheningan, dan semua siswa
di kelas langsung merasakan beban berat di dada mereka.
“Kalau sudah mengerti semua, 4 orang maju ke depan untuk mengerjakan soal
di papan tulis!” serunya.
Seluruh siswa tampak lemas mendengar perintah itu. Caitlyn merasa seolah
semua mata tertuju padanya ketika namanya dipanggil. Bersama tiga temannya,
Louise, Aurora, dan Januar, ia berjalan menuju papan tulis, tanpa semangat.
Lima menit berlalu, dan satu per satu teman-temannya menyelesaikan soal dengan
cepat, kecuali Caitlyn dan Januar.
“Januar, ga ada niatan mau bantuin gue?” tanya Caitlyn, harapan di wajahnya
tampak redup.
Januar Pramuja, laki-laki di sampingnya, hanya melirik soal Caitlyn sejenak
sebelum menaruh spidol dan kembali ke kursinya tanpa sedikit pun niat untuk
membantu. Rasanya seperti terperangkap dalam kegelapan saat Caitlyn menyadari
bahwa dia satu-satunya yang tersisa.
“Kenapa gue tidak bolos saja tadi pagi?” pikirnya, meratapi keputusan untuk
tetap hadir di kelas.
Setelah pelajaran berakhir, Caitlyn pulang ke rumah dengan perasaan hampa.
Setelah menyimpan tasnya, dia terbaring di kasur dan menatap langit-langit
sambil merenung, “Kalau dipikir-pikir, kegiatan gue ga seru banget ya? Sekolah,
makan, mandi, tidur, gapernah ngelakuin hal lain.”
Dari SMP hingga kini, hidupnya terasa monoton. Dia merasa terasing di
tengah teman-temannya, tanpa ada yang benar-benar mengerti atau membangkitkan
semangatnya untuk belajar.
“Dari sekian banyaknya mata pelajaran, cuma nilai bahasa Inggris doang yang
bagus,” gumamnya.
Namun, meski merasa terjebak, Caitlyn berusaha bertahan. Hari-hari berlalu,
dan tiba di kelas 12, dia berharap semuanya bisa berubah. Tepat pukul 5 sore,
bel pelajaran terakhir berbunyi, dan Caitlyn segera memasukkan alat tulis ke
dalam tasnya.
“Tunggu, Caitlyn! Wali kelas ingin bicara denganmu,” suara Aurora
memanggilnya.
Caitlyn mengangguk dan berterima kasih sebelum meninggalkan temannya. Di
ruang guru, dia melihat Januar sedang berbincang dengan wali kelasnya.
“Bapak memanggil saya?” tanya
Caitlyn, penasaran tentang alasan panggilan itu.
“Lihat nilai matematika kamu,”
jawab guru tersebut sambil menyerahkan selembar kertas berisi catatan nilai.
Caitlyn merasa jantungnya berdebar saat melihat nilai-nilainya. Ada satu
angka yang membuatnya sedih—nilai matematikanya sangat rendah. Di sampingnya,
Januar terlihat tenang meski wajah Caitlyn menunjukkan kesedihan yang mendalam.
“Bapak senang melihat peningkatan nilai kamu, Caitlyn. Namun, nilai
matematikamu masih sangat kurang. Bapak berharap kamu bisa meningkatkan
hasilmu,” sambung wali kelasnya.
Mendengar itu, Caitlyn terkejut. Ternyata, Januar pun mendapat panggilan
yang sama. “Bapak ingin kalian belajar bersama untuk meningkatkan nilai,”
ungkap sang guru.
Caitlyn merasa canggung. Bagaimana mungkin mereka, yang tidak pernah
berinteraksi, harus belajar bersama?
“Baiklah, kalian bisa pulang sekarang,” kata guru itu menutup pertemuan.
Caitlyn melangkah keluar, masih terkejut, ketika Januar menunduk memberi
hormat kepada gurunya. Di luar, pikiran Caitlyn berputar. Akankah
belajar bersama dengan Januar membantu? Atau justru membuatnya semakin
tertekan?
Kisah Caitlyn baru saja dimulai,
dan satu hal yang pasti—perjalanannya menuju pemahaman matematika tidak akan
mudah, tetapi mungkin, dengan sedikit bantuan dari teman yang tak terduga,
semuanya bisa berubah.
Bersambung...
0 comments:
Post a Comment